Hidup, sebagaimana aliran sungai yang tak pernah bertanya ke mana arah muaranya, terus mengalir, kadang tenang menyentuh bebatuan kecil, kadang deras menggulung segala yang menghalangi. Begitu pula aku, manusia biasa yang menjejak bumi dengan langkah-langkah yang sering goyah, terantuk luka, namun tak pernah benar-benar berhenti.
Ada masa di mana pagi terasa begitu berat untuk dibuka, seolah matahari pun enggan bersinar pada jendela kamarku yang berdebu oleh harapan yang sempat ditinggalkan. Di situlah aku belajar: bahwa tak semua hari harus dimulai dengan semangat, kadang cukup dengan keberanian untuk tetap bangun, meski hati ingin bersembunyi dalam selimut kekhawatiran.
Aku pernah jatuh, bukan sekali, tapi berkali-kali, hingga tanah seakan lebih akrab daripada cahaya. Namun ternyata, jatuh pun punya makna. Ia mengajarkan bahwa yang kokoh bukanlah mereka yang tak pernah roboh, tapi yang mampu berdiri dengan tubuh yang sama, meski dengan jiwa yang telah berubah bentuk—lebih sabar, lebih kuat, lebih manusiawi.
Di tengah perjalanan, aku sering bertanya pada angin, “Sampai kapan aku harus bertahan?” Namun angin hanya berlalu, membisikkan bahwa pertanyaan semacam itu bukan untuk dijawab, melainkan untuk dijalani. Bahwa hidup bukan tentang tiba di puncak yang paling tinggi, tapi tentang memahami setiap jengkal tanah yang telah diinjak, setiap luka yang telah dijahit oleh waktu.
Aku bertemu banyak orang—ada yang datang membawa cahaya, ada pula yang datang membawa badai. Tapi keduanya mengajariku hal yang sama: bahwa tak semua yang datang harus tinggal, dan tak semua yang pergi harus dibenci. Beberapa hanya singgah untuk memberi pelajaran, lalu melanjutkan jalan.
Dan ketika malam datang dengan kesunyian yang tak lagi asing, aku belajar berdamai dengan sepi. Aku menulis, aku menangis, aku berbicara pada Tuhan dalam bahasa yang tak terdengar, namun terasa. Sebab dalam diam yang panjang, kadang kita menemukan suara paling jujur dari dalam diri kita sendiri.
Kini, langkahku mungkin masih tertatih, tapi tidak lagi tersesat. Aku tahu bahwa hidup bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang menjadi utuh—meski utuh itu berarti penuh dengan bekas patah dan tambalan luka yang perlahan sembuh. Aku berjalan, bukan untuk mengejar waktu, tapi untuk menyatu dengannya. Karena aku tahu, bahwa meskipun perjalanan ini panjang, dan terkadang sunyi, tapi aku tidak sendiri.
Ada harapan yang tumbuh di setiap pagi yang baru, ada cinta yang diam-diam menyusup lewat hal-hal kecil, dan ada kekuatan yang pelan-pelan bangkit dari puing-puing diri yang pernah hancur.
Inilah aku—penjelajah yang tak sempurna, tapi tak pernah berhenti melangkah. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, melainkan siapa yang paling setia menemani dirinya sendiri dalam perjalanan yang sunyi dan agung ini.
Posting Komentar untuk "Langkah-Langkah yang Tak Pernah Lelah"