zmedia

Langkah Kaki di Ujung Senja


Namanya Rendi. Ia lulusan sarjana teknik dari sebuah universitas negeri yang tidak terlalu terkenal, tapi cukup membanggakan bagi keluarganya di kampung. Ayahnya seorang buruh tani, dan ibunya membuka warung kecil di depan rumah. Mereka menjual ayam goreng dan teh manis untuk menyambung hidup.


Setelah wisuda, Rendi pulang ke rumah dengan segenggam harapan dan secarik ijazah. Ia yakin gelarnya akan membuka pintu kehidupan yang lebih baik. Tapi kenyataan berbicara lain.


Hari demi hari, ia mengirimkan lamaran. Lewat email, pos, bahkan datang langsung ke pabrik-pabrik dan kantor di kota kabupaten. Tapi jawabannya selalu sama: "Kami akan hubungi kembali jika sesuai," yang berarti tidak akan pernah dihubungi. Kadang ia menunggu di warung kopi dengan ponsel dalam genggaman, menatap layar yang tak pernah berbunyi.


Orangtuanya tetap menyemangati. Mereka bahkan menjual satu-satunya kambing mereka agar Rendi bisa ke Jakarta mencoba peruntungan. Di ibu kota, ia tinggal di kontrakan sempit bersama lima orang teman satu kampus, yang juga sedang mencari kerja.


Ia pernah bangun pukul empat pagi hanya untuk ikut antrean walk-in interview yang panjangnya seperti ular. Pernah pulang tengah malam setelah diusir satpam karena numpang duduk di lobi gedung perusahaan. Pernah juga makan mie instan tiga hari berturut-turut karena uang habis untuk ongkos.


Suatu malam, setelah wawancara kelimanya ditolak dalam seminggu, ia duduk di jembatan layang dan menangis. Bukan karena malu, tapi karena lelah. Ia merasa hidup seperti mengejarnya, tapi ia tak pernah cukup cepat.


Namun saat ia hendak pulang, sebuah pesan masuk: "Kami tertarik dengan profil Anda. Mohon datang untuk interview akhir besok pagi."


Rendi hanya tersenyum kecil. Bukan karena yakin akan diterima, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa ia genggam malam itu—harapan.

Posting Komentar untuk " Langkah Kaki di Ujung Senja"